Al-Abbas
Nama lengkapnya al-’Abbas bin Abdul
Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf. Biasanya dipanggil Abul Fadhil.
Gelarnya ‘saaqi ah-haramain’ (Pemberi minum dua kota suci). Lahir 51
tahun sebelum Hijriah. beliau adalah paman Rasulullah. Anaknya, Abdullah
bin ‘Abbas, adalah ahli tafsir al-Qur’an dan salah satu ulama cerdik
pandai umat Islam waktu itu.
Mengenai pribadinya beliau berwajah
bagus. Badanya tingggi. Kalau bicara suaranya lantang. Penyabar. Kalau
berpakian nacis atau perlente. Meski demikian beliau orang yang sangat
dermawan. Karena kehabatanya dan kepintarannya beliau mendapat tempat
di hati orang-orang Qurisy pada masa jahiliyah. Hingga menjadi orang
terhormat di kalangan pembesar Quraisy.
Pada waktu kecilnya beliau pernah
tersesat jalan dan tidak dapat pulang ke rumahnya. Ibunya pun merasa
binggung harus mencari kemana. kemudian ibunya bernazhar kepada Allah
akan memasang kain untuk Ka’bah dan mengecatnya sekiranya anaknya dapat
ditemukan lagi. Do’anya dikabulkan. Anaknya dapat ditemukan kembali.
Ibunya pun menunaikan nazharnya.
mengenai keislamannya para ulama masih
berselisih pendapat. Satu pendapat mengatakan beliau masuk Islam
sebelum Hijriah tapi keislamannya tidak ditampakkan. Pendapat lain
mengatakan beliau masuk Islam ketika terjadi peristiwa hijrah. Sejak
dirinya masuk Islam, beliau sangat benci dengan perbudakan. Dalam satu
hari beliau membeli 70 budak untuk kemudian dimerdekakan.
Pada waktu terjadi sumpah setia Aqabah
(ba’atul aqabah) kepada Rasulullah, beliau ikut hadir di Aqabah.
Padahal dirinya belum masuk Islam. Sebagaimana diceritakan Ka’ab bin
Malik bahwa kehadiran dirinya pada majlis itu cuma ingin tahu apa yang
diperbuat anak pamannya, Muhammad bin Abdullah.
Ketika Rasulullah perintahkan para
sahabat untuk berhijrah, beliau mendengar kabar itu. Dirinya pun
teringin sekali ikut berhijrah bersama para sahabat. Hanya saja
Rasulullah, waktu itu, belum membolehkan. Seorag utusan dari Rasulullah
datang padanya, “Lebih baik kamu tinggal di Mekkah dulu” begitu pesan
Rasulullah. Beliau pun menuruti perintahnya; tidak jadi ikut berhijrah.
Selama tinggal di Mekkah beliau aktif memberikan kabar tentang
kegiatan orang-orang musyrik kepada Rasulullah.
Tak sengaja beliau keluar rumah padahal
dirinya tidak diperkenankan Rasulullah untuk ikut perang Badr.
Titba-tiba dirinya ditawan oleh seorang bernama Abu al-Yasr. Berita itu
sampai ke telingga Rasulullah. Rasulullah bertanya,”Bagaimana kamu
boleh ditawan?” Beliau menjawab, “Wahai Rasulullah, seseorang telah
menolongku. Tapi aku belum pernah tahu tentang wujudnya sebelum dan
sesudahnya.” Rasulullah menjawab, “Malaikat datang untuk menolongmu.”
Suatu ketika ada orang mengumpat dan
menghina ayahnya. Pada awalnya beliau tidak terlalu menghiraukan
ucapannya. Tapi orang itu tetap saja mengumpat dan menghina. Darahnya
naik. Kemarahan dihatinya memuncak. Ditamparnya orang itu keras-keras.
Tak lama kawan-kawan orang itu datang dalam jumlah banyak. Mereka
berucap, “Demi Tuhan, Pasti kami balas menampar dia seperti dia
menampar.” Mereka pun bergegas mengambil senjatanya. Peristiwa itu
dikabarkan kepada Rasulullah. Rasulullah berkata kepada mereka, “Wahai
kalian, apakah kalian tahu siapa orang yang paling mulia?” Mereka
menjawab, “Engkau.” Rasulullah berkata, “Dia adalah keluargaku dan saya
juga saudaranya. Jangan sekali-kali kelian mengumpat orang yang sudah
mati maka yang demikian sama saja kalian menyakiti orang yang sakit.”
Pada waktu tahun Ramadah dan ketika
penduduk negeri dilanda tanah gersang akibat tidak hujan, amirul mukmin
Umar dan orang Islam keluar ke tanah lapang untuk melakukan shalat
istisqa (minta hujan). Mereka dengan khusyu’ memohon kepada Allah agar
diturunkan hujan. Tiba-tiba Umar memegang tangan kanannya kemudian
diangkatnya ke langit. Umar berkata, “Ya Allah, Dulu kami memohon hujan
melalui doa Rasulullah yang ikut bersama kami. Ya Allah pada hari ini
kami memohon hujan melalui doa pamannya. Maka turunkan kepada kami
hujan.” Selesai melaksanakan shalat istisqa’ , mereka pun meninggalkan
tanah kosong itu. Tak lama kemudian hujan pun turun. Para sahabat yang
lain datang ke tempat beliau. Mereka memberikan ucapan selamat dan
saling berpelukan dengan perasaan gembira karena hajatnya dikabulkan
Allah.
Tahun ke-8 Hijirah setelah Mekkah
berhasil ditaklukan, Islam sedikit banyak telah memberikan pengaruh
kepada kabilah-kabilah yang ada di jazirah Arab. Gaunnya terdengar ke
segala penjuru. Hanya saja tidak semua mau menerima kebenaran ajaran
Islam. Beberapa kabilah Arab seperti Hawazin, Tsaqif, Nasr, Jusyam dan
lain merasa geram dan marah dengan tersebarannya ajaran Islam. Akhirnya
mereka memutuskan untuk berkumpul merancang untuk menyerang Rasulullah
dan pengikutnya.
Pada hari yang ditentukan pasukan umat
Islam yang jumlahnya kurang lebih 12 ribu bertemu dengan pasukan
kabilah-kabilah Arab yang jumlahnya lebih besar. Keadaan ini sempat
mengoyahkan pasukan umat Islam karena jumlahnya yang sedikit. “Meski
sedikit kita tidak akan dikalahkan” begitulah suara yang bergemuruh
dihatinya. Setelah melalui pertempuran yang dahsyat, pasukan
kabilah-kabilah Arab dapat dikalahkan. Firman Allah; “Dan Allah SWT
telah berikan kemenangan kepada kalian di berbagai tempat, dan pada
waktu perang Hunainin kalian merasa bimbang dengan jumlah pasukan musuh
yang banyak.
Mengenai pribadinya Rasulullah pernah
bersabda, “Ini (al-Abbas) adalah sisa dari paman-paman saya.” Suatu
ketika beliau berkata kepada Rasulullah, “Saya ini sudah tua, maka
ajarkan padaku sesuatu yang memberi manfaat kelak.” Rasulullah
menjawab, “Mintalah ampunan kepada Allah dan terjaga kesehatannya.” Di
kalangan sahabat lain, beliau tetap dihormat. Hingga Umar dan Utsman
sendiri tidak pernah menaiki kuda sewaktu bertemu dengan beliau
melainkan mereka turun dari kudanya.
Selama menemani perjuangan Rasulullah,
beliau telah meriwayatkan kurang lebih 35 hadits. Di akhir hayatnya
beliau buta. Tepat pada hari Jum’at 14 Rajab tahun 32 Hijriah beliau
menghembuskan nafas terakhir. Terdengar suara para sahabat lain
berucap, “Semoga Allah memberikan rahmat bagi orang menyaksikan
kematian al-Abass bin Abdul Muthalib. Berduyun-duyun umat Islam datang
memberikan bela sungkawa. Utsman bin Affan, selaku khalifah waktu itu,
menjadi imam shalat atas jenazahnya. Beliau dikuburkan di pekuburan
Baqi’, samping masjid Nabi di Madinah.