Biografi Teuku Umar
Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun
1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat,
Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah
memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.
Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati
yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai
dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad
Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.
Ketika perang aceh meletus pada 1873
Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya,
padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di
kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur
ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di
daerah Daya Meulaboh.
Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil
dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi
dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan
pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak
pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi
seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.
Pernikahan Teuku Umar tidak sekali
dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar
menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk
meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan
Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia
mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi
janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah
mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada
Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu,
Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya
kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda
di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut
Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah
berjuang dalam medan tempur.
Belanda sempat berdamai dengan pasukan
Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah
kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian
mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak
musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki
tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu,
dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu
juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati
rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas
keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat
dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium
pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.
Saat bergabung dengan Belanda, Teuku
Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan
tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku
Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh.
Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk
menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang
Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur
Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar
kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya
beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan
uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar
bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan
strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi
kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar
ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan
dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut
menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25
orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.
Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti
dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar
mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar.
Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar
tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo,
pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.
Pemikiran
Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya
memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya.
Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami.
Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang
berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan”
pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran
Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang
pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam
menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta
senjata sangat lengkap. Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif”
boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang
positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran
seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga
menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam
menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran
semacam itu.
Karya
Karya Teuku Umar dapat berupa
keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada
tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon,
milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar.
Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada
Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian
tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa
keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai
hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.
Penghargaan
Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973
tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di
sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah
terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan
sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.
(HS/tkh/3/8-07)
Sumber:
* Winarno, Sejarah Ringkas Pahlawan Nasional, (Jakarta: Erlangga, 2006).
* www.jagoan.or.id
* www.nad.go.id.
* Wikipedia.org.