Umur Yang Pantas Untuk Menikah?
Mungkin karena aku baru menikah, jadi banyak teman-teman di dunia
nyata maupun di dunia maya bertanya tentang pernikahan, salah satu
pertanyaannya “Bro, menurut nte umur berapa kita pantas atau cocok untuk
menikah?”.
Sebenarnya kalau mau jawab, mungkin aku bisa
menyebut angka berapapun sesuka hati, tanpa harus berpikir panjang
apalagi harus duduk menulis notes untuk menjawab, jawab saja “umur 30”,
atau “umur 25”. meskipun sebenarnya saat menjawab itu, kita perlu
jawaban yang pantas dan sesuai dengan keadaan dan fitrah kita sebagai
manusia, jadi mungkin sebelum menjawabnya aku perlu memberikan sedikit
mukaddimah.
Mungkin aku pernah mengatakan bahwa Allah
memberikan dua hal pada manusia, sebut saja instinc atau nafsu atau
apalah; pertama, keinginan untuk mempertahankan hidup, keinginan itu
yang mendorongnya untuk makan dan minum. kedua, keinginan untuk menjaga
kelangsungan keturunan, apa yang berlaku untuk instinc pertama juga
berlaku bagi instinc kedua. katakana padaku, kapan seorang manusia itu
makan? maka akan ku katakan padamu kapan dia harus menikah!
“Kapan manusia makan?” pasti kamu jawab, “saat dia lapar”.
Jadi,menikahlah saat merasa sudah “ingin”, artinya setelah baligh dan dewasa, normalnya sekitar umur 18 tahun.
“Lah, kalau dia tidak memiliki kemampuan materil untuk menikah pada umur 18, apa yang harus dia lakukan?”
Lakukan apa yang dilakukan orang lapar, yang tidak memiliki apapun untuk dimakan, bersabar dan berpuasa.
“Kalau
orang lapar tidak mempu menahannya, sedangkan di depannya ada makanan,
kemudian terpaksa dia mencuri dan memakannya, apa yang kita lakukan?”
Masyarakat
seharusnya memudahkan dan membantu orang yang lapar, supaya dia bisa
mendapatkan makanan, sehingga dia tidak harus melakukan tindakan
criminal untuk mengisi perutnya. kalau memang terpaksa dia harus lapar,
maka bagi orang-orang yang punya harta dan makanan harus ekstra
hati-hati menjaga harta dan makanan mereka supaya tidak dicuri. dari
satu sisi orang kelaparan itu memiliki hak untuk makan, dari sisi lain
dia adalah penjahat karena mengambil hak milik orang lain. ini yang ku
katakan untuk pernikahan.
Waktu normal untuk menikah
adalah setelah baligh, namun saat itu seorang pemuda pasti sedang sibuk
dengan sekolahnya, pencarian jati dirinya, dia tidak punya income yang
tetap, masih meminta pada orangtua, masih belum memiliki pekerjaan,
karena harus sekolah, paling tidak sampai umur 25 tahun dia baru
selesai. artinya kondisi social dan keadaan tidak mendukungnya, keadaan
itu memang tidak bisa dinafikan dan bertentangan dengan fakta yang
dirasakan pemuda tadi. jadi, apa yang harus kita lakukan? apa yang harus
dilakukan pemuda yang harus melewati hari-harinya tanpa ikatan nikah,
padahal pada umur-umur antara 18 sampai 25 adalah masa-masa dimana
gejolak syahwat membakar dirinya?
Allah meletakkan api
syahwat yang menggelora di dalam diri pemuda itu, kalau tidak dipadamkan
dengan pernikahan, maka dia akan membakar dirinya dengan rasa sakit,
atau dia membakar rumah tangga orang dengan perbuatan asusila. disinilah
letak permasalahan utama kita, ini yang harus kita carikan solusi dan
kita bahas untuk mendapatkan jalan keluarnya.
Sebenarnya
mudah saja menjawab hal itu, seorang penulis professional duduk di atas
kursi, membuka laptop atau komputernya, dan menarik rokoknya, kemudian
menarik nafas dalam-dalam, dan menulis, “menurut saya, umur yang paling
cocok untuk menikah adalah 30 tahun….”. ya, ini pendapat anda, tapi ini
tidak memberi solusi untuk masalah!
Kalau cuma berbicara
sangat mudah, seorang Hakim yang memutuskan hukuman mati bagi seorang
terdakwa dengan mudahnya mengetuk palu, tanpa sedikitpun dia merasa
susah, Cuma menggerakkan mulut dan lidahnya saja. yang jadi masalah itu
si terdakwa yang dikenakan hukuman mati, dia yang bingung dan menderita.
dan dalam masalah ini, yang terdakwa dan terpidana adalah si
pemuda….dan pemudi juga!
Kalau tabiat anak muda dan
fitrahnya pada umur-umur ini “haus seks”, maka sangat mengenaskan kalau
saudara kita sang penulis professional itu memutuskan agar si pemuda
menikah pada umur 30 tahun, jadi apa yang harus dia lakukan selama 12
tahun itu menunggu angka 30!
Apalagi dia hidup dalam
masyarakat yang “menghalanginya” menikah itu, tidak mendukungnya,
bahkan menambah “bensin” ke dalam api yang sedang membara dalam diri
pemuda itu, setiap kali dia lupa sama syahwatnya, mereka mengingatkannya
lagi dengan poto-poto telanjang di pinggiran jalan, di media-media,
dengan film-film tak berakhlak, dengan pergaulan-pergaulan bebas. saat
dia berjalan di jalanan, dia menemukan godaan, masuk kampus juga
menemukan hal yang sama, dimana-mana dia mendapat godaan, dan kita
menyuruhnya bersabar 12 tahun dalam kondisi seperti itu, dan sambil kita
bentak kita katakan, “nggak usah mikirin cewek dulu, belajar dulu
sana,kuliah yang bener!”.
Wallahi, dipenjara 12 tahun
tidak lebih berat daripada apa yang dirasakan seorang pemuda yang harus
menahan diri untuk tidak menikah 12 tahun!
Terus apa solusinya?
Solusinya
kita harus kembali kepada fitrah, kebutuhan dan hukum alam, tidak ada
manusia yang mampu melawan hukum alam. kita harus kembali pada kebiasaan
seperti orangtua kita dulu, mereka menikah pada umur 18 tahun bagi
pemudi dan 17 tahun bagi pemudi, kalau itu tidak memungkinkan saat ini,
maka paling tidak kita harus mendidik anak-anak kita untuk takut pada
Allah supaya tidak melakukan hal-hal negatif, dan kita ajarkan akhlak
islamiyyah, dan kita berusaha membersihkan lingkungan kita dari hal-hal
negatif yang mengganggu anak muda, dan kita jaga anak-anak putrid kita
agar tidak terjerumus dalam hal-hal negatif dan jangan sampai dia
“kecurian” harta paling berharga dalam hidupnya itu, harus kita jaga
anak-anak kita seperti kita jaga harta kita dari pencuri.
Inilah
jawaban yang ku tahu, aku yakin siapa yang membaca ini pasti akan
mengatakan, “ya, benar sekali apa yang kamu katakan”, tapi sayangnya
tidak ada yang mau melakukannya.
Wallahu A’lam.
Wallahu A’lam.
Penulis : Saief Alemdar