Kerajaan Peureulak Riwayatmu Kini
Written by Edy Rachmad on Thursday, 22 December 2011 03:36
(Memperingati Haul ke-1.208 Sulthan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah)
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah” begitulah petikan kalimat mantan Presiden RI pertama Ir Soekarno sehingga mampu menginspirasikan kepada bangsa Indonesia untuk memelihara peninggalan sejarah bangsa.
Khususnya di Aceh, tidak sedikit pula peninggalan sejarah yang masuk kategori “hidup segan mati tak mau”. Apakah pemerintah sebagai lembaga resmi yang memiliki tanggung jawab tersebut tidak tahu atau tidak mau tahu.
Seperti halnya situs peradaban peninggalan kerajaan Islam Peureulak yang kini seakan terlupakan. Padahal situs tersebut merupakan tonggak sejarah masuknya Islam pertama sekali ke Asia Tenggara. Berdasarkan catatan yang ada, pada era Menteri Agama RI Munawir Sazali, memang sempat digelar acara massif dan berakhir dengan lahirnya pencanangan pembangunan Monumen Islam Asia Tenggara (MONISA).
Ketika itu muncul tokoh- tokoh penggagas, seperti almarhum Arifin Amin dan tokoh sejarawan Aceh almarhum Prof Ali Hasjmy. Keduanya melakukan berbagai upaya sehingga acara peletakaan batu pertama pembangunan MONISA terlaksana dengan baik.
Ribuan warga Peureulak sekitarnya berduyun- duyun datang guna menyaksikan acara fenomenal itu. Sebelumnya sempat pula digelar seminar pada tahun 1980-an di Kuala Simpang yang diikuti perwakilan sejumlah negara Asia Tenggara, sehingga lahirlah rekomendasi bahwa Peureulak merupakan daerah pertama masuknya Islam di Asia Tenggara.
Berselang tidak lama kemudian, pencanangan MONISA sebagai monumen masuknya Islam pertama pun tinggal kenangan. Yang tersisa hanya maket bangunan MONISA yang kini sudah tak terlihat bentuknya lagi.
Lokasi yang semula akan dijadikan bangunan MONISA di Desa Paya Meuligoe juga bernasib sama, sudah ditumbuhi ilalang. Hanya ada bangunan kecil yang sempat dijadikan sekolah tingkat tsanawiyah. Kuburan para raja Peureulak juga tak terurus dengan baik. Kecuali itu, berbagai tempat bersejarah milik kerajaan lain tidak terurus seiring dengan meninggalnya para pencetus sejarah di sana.
Dua tahun sempat dilakukan pencarian kitab Idhahul Haq, kitab yang mengupas tuntas tentang sejarah dan memperkaya khasanah fakta sejarah Peureulak. Namun sampai kini ia masih menjadi misteri yang belum terungkap. Pun begitu, penulis sempat melihat foto copy sampul Idhahul Haq pada Bapak Yahya, tokoh masyarakat di Paya Meuligoe.
Banyak yang berharap, situs kerajaan Peureulak kembali bangkit dan dapat mengukir tinta emas sejarah dengan mengingatkan siapa moyang kita sebenarnya. Dua tahun yang lalu saya sempat mengobrol panjang dengan rekan saya, Fikar W Eda, seorang pegiat sejarah dan sastra di Jakarta.
Fikar ketika itu sempat mengusulkan adanya program seni budaya untuk mendongkrak situs kerajaan Peureulak yang notabenenya sebagai kerajaan Islam Tenggara harus digalakkan. Menurut Fikar, di pulau Jawa Gatot Kaca yang hanya tokoh dalam dongeng bisa jadi sejarah, sementara di Aceh lama- lama sejarah akan jadi dongeng.
Pernyataan Fikar bukan tidak tepat dengan kenyataan yang ada selama ini, bahwa banyak situs sejarah dan nilai-nilai budaya yang ada di seluruh Aceh nyaris pudar. Generasi muda banyak yang tidak memahami akan sejarah keAcehan yang ada.
Maka, sangat pantas, bertepatan dengan haul kesulthanah Peureulak ke-1.208 H Sulthan Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah yang dilaksanakan, Rabu (30/11) di Desa Bandrong, Peureulak Kota, Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Timur dapat memperhatikan situs dengan cara melakukan langkah- langkah kongkrit.
Seperti kampanye untuk mendapat dukungan dari dunia Islam termasuk dari negara- negara di Asia Tenggara. Kita harus mampu menyakinkan bahwa situs sejarah Peureulak bukan milik Aceh saja, tapi milik dunia internasional.
Haul sulthan yang akan dihadiri Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, diharapkan tidak hanya menjadi acara seremoni belaka yang menghabiskan uang jutaan rupiah. Harus ada sebuah rekomendasikan agar pemerintah sungguh-sungguh memperhatikan situs sejarah tersebut, agar tidak tinggal kenangan saja.
Pemerintah semestinya bisa menganggarkan dana pembangunan monumen atau mencari dana dari pihak ketiga. Sehingga acara yang telah dikemas dengan doa bersama bertempat di area makam sulthan akan benar-benar bermanfaat.
Dari kunjungan Gubernur Irwandi, ada sesuatu yang dapat membuat warga lega, ia berjanji akan mengalokasikan dana untuk pemugaran situs sejarah kerajaan Islam Peureulak melalui Dinas Pariwisata Pemprov Aceh.
Gubernur menyampaikan langsung saat memberi kata sambutan di hadapan seribuan warga pada peringatan Hari Ulang Tahun (Haul) ke-1.208 H, Sulthan Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah, kesulthanah kerajaan Islam Peureulak yang menyebarkan agama Islam ke Asia Tenggara itu.
Kita berharap apa yang disampaikan Gubernur Irwandi bukan hanya janji semata menjelang Pilkada di Aceh. Namun harus benar- benar direalisasikan sehingga masyarakat puas dan sejarah terpelihara dengan baik. Selain itu, Irwandi juga menyampaikan, bahwa Sulthan Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah adalah pahlawan sekaligus sosok kebanggaan rakyat Aceh.
Ia menyarankan agar peringatan Haul sebaiknya dilaksanakan setahun sekali. “Beliau (sulthan) adalah The Faunding Father yang telah menanamkan jejak sejarah Islam di Asia Tenggara ini tepatnya pada 1 Muharram 225 H,” ujarnya.
Lintas sejarah
Berdasarkan amatan penulis, kawasan kerajaan yang dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah (tempatnya para raja) kini tidak lagi berbekas sama sekali. Tulisan pada makam-makam para raja terus memudar.
Bahkan, sejumlah makam dengan pahatan tulisan kuno telah longsor ke sungai. Sisa-sisa kebesaran kerajaan Peurelak kini nyaris hilang. Peureulak tempo dulu dikenal dengan khazanah budaya Islamnya. Kerajaan yang sudah memiliki mata uang sendiri sempat tersohor ke negeri China dan disegani pula.
Kuburan para sulthan di Desa Bandroeng juga tanpa adanya pemugaran yang berarti. Selain itu, sejumlah situs lain seperti kulam Banta Ahmad yang konon mengeluarkan piring kerajaan dan kuburan Prabu Tapa di Desa Kabu, juga tak mendapat perhatian. Padahal di sana juga pernah tercatat sejarah kegagahan seorang putri yang bernama Nurul A’la sebagai laksamana hebat kala itu. Makamnya kini terdapat di Krueng Tuan, Ranto Peureulak.
Pada pintu masuk dari kota Peureulak menuju ke Bandar Khalifah (Paya Meuligoe) terpajang pamplet berukuran kecil yang sudah lapuk. Gagasan pembentukan Monisa juga tidak pernah terwujud sampai hari ini. Satu-satunya cara untuk menguatkan sejarah Peureulak adalah kitab catatan dari buku Abu Ishak Al-Makarani dalam Risalah Idharul-Haq Fil Mamlakatil Peureulak, yang menggambarkan Peureulak sebagai bandar perdagangan yang sangat ramai dikunjungi tahun 173 Hijriah atau tahun 800 Masehi. Karena itu pula Peureulak disebut sebagai salah satu kota peradaban tertua di Aceh.
Sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, orang-orang Parsi telah mengenal nama negeri Peureulak dengan sebutan Taji Alam. Kemudian sekitar tahun 670 M seorang bangsawan Parsi yang selama pengembaraannya telah kawin dengan seorang puteri Siam datang ke Taji Alam dengan maksud berdagang.
Bangsawan inilah yang menurunkan raja-raja Kerajaan Peureulak. Disebutkan bahwa pada tahun 173 H. (800 M) sebuah kapal yang membawa 100 orang angkatan dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab Quraisy, Palestina, Persi dan India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah berlabuh di bandar Peureulak.
Kendati mereka datang sebagai pedagang, namun mereka masing-masing mempunyai keahlian khusus, terutama dalam bidang pertanian, kesehatan, pemerintahan, strategi dan taktik peperangan dan masih banyak lagi.
Keahlian yang dimiliki itu kemudian secara berangsur-angsur mulai diterapkan kepada penduduk asli daerah Peureulak. Rupa-rupanya kegiatan mereka di daerah yang baru ditempati itu mendapat simpati rakyat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat para angkatan dakwah dengan tidak banyak menghadapi rintangan berhasil mengajak penduduk asli untuk menganut agama Islam.
Kemudian mereka juga mengawini putri-putri dari Peureulak; malah salah seorang pemuda Arab Quraisy dari rombongan nakhoda khalifah itu, yang bernama: Saiyid Ali berhasil kawin dengan putri istana Peureulak, yaitu dengan adik kandung Meurah Syahir Nuwi.
Dari perkawinan ini lahir Saiyid Abdul Aziz yang kemudian dikawinkan pula dengan anak sulung Meurah Syahir Nuwi yang bernama Putri Makhdum Khudaiwi. Perkawinan ini merupakan landasan bagi terwujudnya kerajaan Islam Peureulak.
Sebagaimana disebutkan oleh Idharul Haq, bahwa pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) Saiyid Abdul Aziz resmi dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Peureulak pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Beriringan dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan Bandar Peureulak dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti dengan Bandar Khalifah. Sebagai kenang-kenangan kepada Nakhoda Khalifah yang telah berjasa membawa angkatan dakwah ke Peureulak (letaknya kira-kira 6 Km dari kota Peureulak sekarang dan kota tersebut sampai kini masih ada).
Sultan Abdul Aziz memerintah sampai tahun 249 H (864 M). Setelah pemerintahannya, menurut Idharul Haq, ada 17 orang lagi sultan yang memerintah di Peureulak. Dengan demikian selama berdirinya kerajaan Islam Peureulak terdapat 18 orang sultan dan salah satunya Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H = 840-864 M).
Tidak hanya itu, Marco Polo saat pelayarannya permulaan tahun 1292 M menyebutkan, bahwa ketika ia tiba di bagian Utara Pulau Sumatera, ia telah singgah di Ferlec dan menjumpai penduduk asli di kerajaan kecil itu telah memeluk agama Islam. Di sana telah diperlakukan hukum Islam bagi warganya. Para ahli sependapat, bahwa yang dimaksud dengan Ferlec itu tidak lain adalah Peureulak yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Aceh Timur. ***** (Iskandar Usman Al-Farlaky, SHI : Penulis adalah Ketua KNPI Kabupaten Aceh Timur.)
(Memperingati Haul ke-1.208 Sulthan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah)
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah” begitulah petikan kalimat mantan Presiden RI pertama Ir Soekarno sehingga mampu menginspirasikan kepada bangsa Indonesia untuk memelihara peninggalan sejarah bangsa.
Khususnya di Aceh, tidak sedikit pula peninggalan sejarah yang masuk kategori “hidup segan mati tak mau”. Apakah pemerintah sebagai lembaga resmi yang memiliki tanggung jawab tersebut tidak tahu atau tidak mau tahu.
Seperti halnya situs peradaban peninggalan kerajaan Islam Peureulak yang kini seakan terlupakan. Padahal situs tersebut merupakan tonggak sejarah masuknya Islam pertama sekali ke Asia Tenggara. Berdasarkan catatan yang ada, pada era Menteri Agama RI Munawir Sazali, memang sempat digelar acara massif dan berakhir dengan lahirnya pencanangan pembangunan Monumen Islam Asia Tenggara (MONISA).
Ketika itu muncul tokoh- tokoh penggagas, seperti almarhum Arifin Amin dan tokoh sejarawan Aceh almarhum Prof Ali Hasjmy. Keduanya melakukan berbagai upaya sehingga acara peletakaan batu pertama pembangunan MONISA terlaksana dengan baik.
Ribuan warga Peureulak sekitarnya berduyun- duyun datang guna menyaksikan acara fenomenal itu. Sebelumnya sempat pula digelar seminar pada tahun 1980-an di Kuala Simpang yang diikuti perwakilan sejumlah negara Asia Tenggara, sehingga lahirlah rekomendasi bahwa Peureulak merupakan daerah pertama masuknya Islam di Asia Tenggara.
Berselang tidak lama kemudian, pencanangan MONISA sebagai monumen masuknya Islam pertama pun tinggal kenangan. Yang tersisa hanya maket bangunan MONISA yang kini sudah tak terlihat bentuknya lagi.
Lokasi yang semula akan dijadikan bangunan MONISA di Desa Paya Meuligoe juga bernasib sama, sudah ditumbuhi ilalang. Hanya ada bangunan kecil yang sempat dijadikan sekolah tingkat tsanawiyah. Kuburan para raja Peureulak juga tak terurus dengan baik. Kecuali itu, berbagai tempat bersejarah milik kerajaan lain tidak terurus seiring dengan meninggalnya para pencetus sejarah di sana.
Dua tahun sempat dilakukan pencarian kitab Idhahul Haq, kitab yang mengupas tuntas tentang sejarah dan memperkaya khasanah fakta sejarah Peureulak. Namun sampai kini ia masih menjadi misteri yang belum terungkap. Pun begitu, penulis sempat melihat foto copy sampul Idhahul Haq pada Bapak Yahya, tokoh masyarakat di Paya Meuligoe.
Banyak yang berharap, situs kerajaan Peureulak kembali bangkit dan dapat mengukir tinta emas sejarah dengan mengingatkan siapa moyang kita sebenarnya. Dua tahun yang lalu saya sempat mengobrol panjang dengan rekan saya, Fikar W Eda, seorang pegiat sejarah dan sastra di Jakarta.
Fikar ketika itu sempat mengusulkan adanya program seni budaya untuk mendongkrak situs kerajaan Peureulak yang notabenenya sebagai kerajaan Islam Tenggara harus digalakkan. Menurut Fikar, di pulau Jawa Gatot Kaca yang hanya tokoh dalam dongeng bisa jadi sejarah, sementara di Aceh lama- lama sejarah akan jadi dongeng.
Pernyataan Fikar bukan tidak tepat dengan kenyataan yang ada selama ini, bahwa banyak situs sejarah dan nilai-nilai budaya yang ada di seluruh Aceh nyaris pudar. Generasi muda banyak yang tidak memahami akan sejarah keAcehan yang ada.
Maka, sangat pantas, bertepatan dengan haul kesulthanah Peureulak ke-1.208 H Sulthan Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah yang dilaksanakan, Rabu (30/11) di Desa Bandrong, Peureulak Kota, Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Timur dapat memperhatikan situs dengan cara melakukan langkah- langkah kongkrit.
Seperti kampanye untuk mendapat dukungan dari dunia Islam termasuk dari negara- negara di Asia Tenggara. Kita harus mampu menyakinkan bahwa situs sejarah Peureulak bukan milik Aceh saja, tapi milik dunia internasional.
Haul sulthan yang akan dihadiri Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, diharapkan tidak hanya menjadi acara seremoni belaka yang menghabiskan uang jutaan rupiah. Harus ada sebuah rekomendasikan agar pemerintah sungguh-sungguh memperhatikan situs sejarah tersebut, agar tidak tinggal kenangan saja.
Pemerintah semestinya bisa menganggarkan dana pembangunan monumen atau mencari dana dari pihak ketiga. Sehingga acara yang telah dikemas dengan doa bersama bertempat di area makam sulthan akan benar-benar bermanfaat.
Dari kunjungan Gubernur Irwandi, ada sesuatu yang dapat membuat warga lega, ia berjanji akan mengalokasikan dana untuk pemugaran situs sejarah kerajaan Islam Peureulak melalui Dinas Pariwisata Pemprov Aceh.
Gubernur menyampaikan langsung saat memberi kata sambutan di hadapan seribuan warga pada peringatan Hari Ulang Tahun (Haul) ke-1.208 H, Sulthan Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah, kesulthanah kerajaan Islam Peureulak yang menyebarkan agama Islam ke Asia Tenggara itu.
Kita berharap apa yang disampaikan Gubernur Irwandi bukan hanya janji semata menjelang Pilkada di Aceh. Namun harus benar- benar direalisasikan sehingga masyarakat puas dan sejarah terpelihara dengan baik. Selain itu, Irwandi juga menyampaikan, bahwa Sulthan Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah adalah pahlawan sekaligus sosok kebanggaan rakyat Aceh.
Ia menyarankan agar peringatan Haul sebaiknya dilaksanakan setahun sekali. “Beliau (sulthan) adalah The Faunding Father yang telah menanamkan jejak sejarah Islam di Asia Tenggara ini tepatnya pada 1 Muharram 225 H,” ujarnya.
Lintas sejarah
Berdasarkan amatan penulis, kawasan kerajaan yang dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah (tempatnya para raja) kini tidak lagi berbekas sama sekali. Tulisan pada makam-makam para raja terus memudar.
Bahkan, sejumlah makam dengan pahatan tulisan kuno telah longsor ke sungai. Sisa-sisa kebesaran kerajaan Peurelak kini nyaris hilang. Peureulak tempo dulu dikenal dengan khazanah budaya Islamnya. Kerajaan yang sudah memiliki mata uang sendiri sempat tersohor ke negeri China dan disegani pula.
Kuburan para sulthan di Desa Bandroeng juga tanpa adanya pemugaran yang berarti. Selain itu, sejumlah situs lain seperti kulam Banta Ahmad yang konon mengeluarkan piring kerajaan dan kuburan Prabu Tapa di Desa Kabu, juga tak mendapat perhatian. Padahal di sana juga pernah tercatat sejarah kegagahan seorang putri yang bernama Nurul A’la sebagai laksamana hebat kala itu. Makamnya kini terdapat di Krueng Tuan, Ranto Peureulak.
Pada pintu masuk dari kota Peureulak menuju ke Bandar Khalifah (Paya Meuligoe) terpajang pamplet berukuran kecil yang sudah lapuk. Gagasan pembentukan Monisa juga tidak pernah terwujud sampai hari ini. Satu-satunya cara untuk menguatkan sejarah Peureulak adalah kitab catatan dari buku Abu Ishak Al-Makarani dalam Risalah Idharul-Haq Fil Mamlakatil Peureulak, yang menggambarkan Peureulak sebagai bandar perdagangan yang sangat ramai dikunjungi tahun 173 Hijriah atau tahun 800 Masehi. Karena itu pula Peureulak disebut sebagai salah satu kota peradaban tertua di Aceh.
Sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, orang-orang Parsi telah mengenal nama negeri Peureulak dengan sebutan Taji Alam. Kemudian sekitar tahun 670 M seorang bangsawan Parsi yang selama pengembaraannya telah kawin dengan seorang puteri Siam datang ke Taji Alam dengan maksud berdagang.
Bangsawan inilah yang menurunkan raja-raja Kerajaan Peureulak. Disebutkan bahwa pada tahun 173 H. (800 M) sebuah kapal yang membawa 100 orang angkatan dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab Quraisy, Palestina, Persi dan India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah berlabuh di bandar Peureulak.
Kendati mereka datang sebagai pedagang, namun mereka masing-masing mempunyai keahlian khusus, terutama dalam bidang pertanian, kesehatan, pemerintahan, strategi dan taktik peperangan dan masih banyak lagi.
Keahlian yang dimiliki itu kemudian secara berangsur-angsur mulai diterapkan kepada penduduk asli daerah Peureulak. Rupa-rupanya kegiatan mereka di daerah yang baru ditempati itu mendapat simpati rakyat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat para angkatan dakwah dengan tidak banyak menghadapi rintangan berhasil mengajak penduduk asli untuk menganut agama Islam.
Kemudian mereka juga mengawini putri-putri dari Peureulak; malah salah seorang pemuda Arab Quraisy dari rombongan nakhoda khalifah itu, yang bernama: Saiyid Ali berhasil kawin dengan putri istana Peureulak, yaitu dengan adik kandung Meurah Syahir Nuwi.
Dari perkawinan ini lahir Saiyid Abdul Aziz yang kemudian dikawinkan pula dengan anak sulung Meurah Syahir Nuwi yang bernama Putri Makhdum Khudaiwi. Perkawinan ini merupakan landasan bagi terwujudnya kerajaan Islam Peureulak.
Sebagaimana disebutkan oleh Idharul Haq, bahwa pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) Saiyid Abdul Aziz resmi dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Peureulak pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Beriringan dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan Bandar Peureulak dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti dengan Bandar Khalifah. Sebagai kenang-kenangan kepada Nakhoda Khalifah yang telah berjasa membawa angkatan dakwah ke Peureulak (letaknya kira-kira 6 Km dari kota Peureulak sekarang dan kota tersebut sampai kini masih ada).
Sultan Abdul Aziz memerintah sampai tahun 249 H (864 M). Setelah pemerintahannya, menurut Idharul Haq, ada 17 orang lagi sultan yang memerintah di Peureulak. Dengan demikian selama berdirinya kerajaan Islam Peureulak terdapat 18 orang sultan dan salah satunya Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H = 840-864 M).
Tidak hanya itu, Marco Polo saat pelayarannya permulaan tahun 1292 M menyebutkan, bahwa ketika ia tiba di bagian Utara Pulau Sumatera, ia telah singgah di Ferlec dan menjumpai penduduk asli di kerajaan kecil itu telah memeluk agama Islam. Di sana telah diperlakukan hukum Islam bagi warganya. Para ahli sependapat, bahwa yang dimaksud dengan Ferlec itu tidak lain adalah Peureulak yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Aceh Timur. ***** (Iskandar Usman Al-Farlaky, SHI : Penulis adalah Ketua KNPI Kabupaten Aceh Timur.)