Menakar Fikih Aceh
Oleh Zahrul Bawady M. Daud
SUATU ketika kami
duduk menyimak pelajaran Asybah Wan Nadhair karangan Imam Suyuthy yang
diasuh oleh Syaikh Ali Jum’ah, seorang ulama syafi’iyah yang waktu itu
masih menjabat sebagai Mufti Mesir. Ketika sesi tanya jawab, ada yang
bertanya; Bagaimana harusnya kita menuntut ilmu dengan perbedaan mazhab
yang timbul? Syaikh menjawab: “Bagi penuntut ilmu sebaiknya fokus
mempelajari satu mazhab agar ia mengetahui dalil-dalil mazhab secara
utuh.”
Pada lain kesempatan, dalam pengajian kitab Bidayatul
Mujtahid karya Imam Ibn Rusyd Al Hafid bersama Syaikh Ahmad Thaha Rayyan
yang juga dijuluki Maliki Shaghir dan secara normatif saat ini menjadi
mufti malikiah di dunia Islam mengungkapkan hal serupa. Menurut beliau
penuntut ilmu harus utuh mempelajari satu mazhab, agar ia menjadi
muhaqqiq dalam mazhab tersebut.
Semua pernyataan dapat diterima
ataupun ditolak. Kaidah ini sudah jamak diketahui. Meski demikian,
ungkapan di atas bukan sebatas ucapan tersendiri dari Ulama Al Azhar,
namun dipraktikkan pula dalam sistem akademik universitas Islam paling
tua di dunia itu. Bagi pelajar ilmu fikih, Al Azhar mewajibkan
mahasiswanya untuk memilih salah satu mazhab imam yang empat (Hanafi,
Maliki, Syafii dan Hanbali) yang nanti akan dipelajari di bangku kuliah.
Dalam
mempelajari ilmu Ushul pun Al Azhar memisahkan antara Ushul Fikih
Jumhur dan Ushul Fikih Hanafi. Pengikut mazhab jumhur akan mempelajari
kitab Nihayat Sul karya Imam Isnawi, syarah Minhaj al Wushul karya Imam
Baidhawi, sedangkan Mazhab Hanafi akan mempelajari syarah Talwih Ala
Taudhih karya Imam Shadr Syariah Taftazany. Pengelompokan ini bertujuan
membimbing seorang murid untuk mengerahkan kemampuan penuh dalam
mempelajari mazhab fikih tertentu.
Bersikap terbuka
Saat mempelajari Perbandingan Mazhab (Muqaranah), kita diajarkan untuk bersikap terbuka. Tidak ada kemestian harus menguatkan satu pendapat selama bisa memberi dalil atas pendapat yang lain. Namun dengan kapasitas mahasiswa Al Azhar yang belum mencapai derajat tarjih (menguatkan satu pendapat atas pendapat lain), dosen akan memberikan pendapat tertentu untuk dikuatkan beserta alasannya. Selain untuk keseragaman dalam menjawab soal yang diuji nantinya dan untuk memberikan jawaban atas perkara baru yang muncul dewasa ini.
Perbandingan
mazhab lebih ditekankan kepada sikap terbuka dalam menyikapi polemik
fikih yang berkembang. Sedangkan di sisi lain, Al Azhar tetap mewajibkan
anak didiknya untuk fokus dalam mazhab tertentu. Sepintas, metode ini
bisa menghindari klaim paling benar yang timbul akibat fanatisme buta
pengikut mazhab tertentu.
Terkadang kita terlalu cepat mempelajari
kitab kitab perbandingan mazhab sehingga lupa akan akarnya. Kita belum
mempelajari jalan yang ditempuh masing-masing mazhab untuk memberikan
dalil atas satu hukum, lalu kita mengatakan bahwa pendapat ini benar dan
yang lain salah.
Fenomena seperti ini bisa mengakibatkan
pendapat kita akan bertentangan antara ragam objek hukum karena kita
tidak mengikuti jalur mazhab yang telah digariskan. Pada dasarnya imam
Mazhab sendiri memiliki metode yang berbeda dalam menetapkan hukum,
selain sumber dasar yang disepakati oleh seluruh imam mazhab.
Jika
kita terlalu cepat menafikan kekayaan satu mazhab untuk mengaduknya
dalam satu mazhab baru (mazhab tarjih), sama artinya kita memandang
sebelah mata atas usaha mujtahid mazhab semisal Imam Nawawi, Imam Rafii
atau Ibn Hajar Al Haitami yang kita kenal dalam mazhab Syafii. Dengan
segenap ilmu yang mereka miliki, mengapa mereka masih ikut mazhab
Syafii. bahkan memberikan tahqiq (penguatan) dan syarah atas mazhab
Syafii.
Secara logika, bukankah mudah saja bagi mereka untuk
mengarang kitab fikih antar mazhab dengan kekayaan intelektual yang
mereka miliki. Hendaknya kita tidak menjadi analogi orang orang yang
digambarkan di dalam Alquran: “Setiap satu kaum masuk ke neraka, mereka
akan mengutuk orang sebelum mereka” (QS. Al-A’raf: 38). Apakah dengan
pengetahuan baru yang kita miliki dengan kebenaran yang masih relatif,
lantas kita melaknat dan menimpakan kesalahan kepada orang sebelum kita?
Adanya
pihak yang tersudut dalam penerapan hukum fikih di Aceh, lalu
melemparkan kesalahan kepada kalangan dayah yang dianggap menjadi tokoh
intelektual diskriminasi fikih di Aceh, beberapa kalangan mewacanakan
fikih antarmazhab sebagai solusinya. Usaha ini bisa dibilang sebagai
teori yang brilian, namun akan terbentur ketika diterapkan. Karena
masing-masing mazhab bisa menguatkan pendapatnya sendiri jika kita
mengkaji lebih dalam.
Sebaiknya kekuatan mazhab Syafii yang sudah
berakar di Aceh tidak perlu diganggu gugat, tentunya selama mengandung
kebenaran dalam cara pengambilan hukum, menggunakan dalil mazhab yang
benar dan sesuai dengan kondisi masyarakat, bukan copy-paste kitab agar
terkesan Arab.
Tak perlu diubah
Menurut hemat penulis, cara beragama masyarakat yang sudah adem-ayem dengan Mazhab Syafii tidak perlu diubah. Bahkan menawarkan jalan baru untuk masyarakat seperti ini dapat dianggap sebuah provokasi. Jika selama ini kita menganggap tikus yang membuat kekacauan, mengapa pula kita harus membakar rumah. Marilah kita menjaga etika khilaf.
Namun perlu
diperhatikan dengan benar, kebiasaan masyarakat untuk menyalahkan
pendapat lain --selama diambil dari jalur yang benar-- juga mesti
dihindari. Kekayaan fikih adalah khazanah Islam yang harus terus kita
pelihara. Jangan sampai ada klaim selain mazhab kami tidak ada yang
benar. Toh, dalam Mazhab Syafii sendiri memiliki pendapat yang berbeda.
Perkara-perkara
keagamaan kita kembalikan kepada para ahlinya, yakni orang-orang yang
telah menempuh jalur ilmu. Jangan semua pihak hendak menjadi ahli fikih,
karena bagi kita masyarakat awam, mengikuti pendapat ulama fatwa lebih
selamat ketimbang menalar dengan logika kita yang kadang tidak sesuai
dengan metode pengambilan hukum itu sendiri.
Penting bagi kita
memahami apa pentingnya mazhab dan bermazhab, terkhusus bagi pelajar
ilmu agama. Abdul Fattah Al Yafii di dalam Al Tamazhub menyebut dalil
ulama empat mazhab bahkan digolongkan sebagai ijma’ bermazhab bagi
selain mujtahid. Syaikh Sulaiman Kurdy juga mengamini pendapat tersebut
di dalam akhir kitab Al Fawaid Al Madaniyah, atau bisa juga membaca
kitab Fawaid Makkiyah karya Syaikh Ahmad Alawy Al Saqqaf.
Kaidah
yang paling penting diketahui adalah kita tidak mengingkari perkara yang
berselisih pendapat ulama di dalamnya, namun kita mengingkari perkara
yang sudah diberikan ijma’ (konsensus) ulama. Selama seseorang
menggunakan dalil yang benar dalam beramal dan tidak menyalahi konsensus
ulama, maka tidak masalah. Mungkin di sini ungkapan “banyak jalan
menuju Roma” dapat kita terapkan. Wallahu A’lam.
* Zahrul Bawady M. Daud,
Alumnus Dayah Bustanul Ulum Langsa, sekarang sebagai Mahasiswa
Pascasarjana (konsentrasi Perbandingan Mazhab) di Universitas Al Azhar,
Kairo, Mesir.
Serambinews.com