Ilmu yang
dibutuhkan seperti imu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti ilmu
nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) atau ilmu fiqih maupun
ushul fiqih, dan lain lain
KH. Muhammad Nuh Addawami
menyampaikan secara lengkap tentang syarat-syarat untuk dapat menggali
hukum (istinbat) langsung dari Al Qur'an dan As Sunnah sebagai dasar
untuk amal perbuatan
*****awal kutipan *****
a. Mengetahui
dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-Quran dan
as-Sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang
bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang
harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti
bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu
seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b.
Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana
mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah
itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada
lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada
yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz
kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain
sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan
yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain
kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti
mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap
orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan
yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak
memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23
pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang
mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima
fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian
mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan
muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal
(mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli
istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa
dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak
termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah
ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para
mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada
salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Orang-orang yang
meninggalkan Imam Mazhab yang empat memang sering mengungkapan pendapat
seperti “kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama.
Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa
mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau.
Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang
menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i
maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu
tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih
adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang
shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab
Syafi’i.
Al-Imam Nawawi menyebutkan dalam Majmu’ Syarh Al Muhadzab , tidak bisa sembarang orang mengatakan demikian.
Al-Imam Nawawi menyebutkan beberapa syarat. “Sesungguhnya untuk hal
ini, dibutuhkan seseorang yang memiliki tingkatan sebagai mujtahid dalam
mazhab dan dan ia harus berbaik sangka bahwa Imam Syafi’i belum sampai
kepada hadits tersebut, atau belum mengetahui keshahihan hadits itu, dan
ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah menela’ah semua
kitab-kitab milik Imam Syafi’i dan kitab-kitab para Sahabat yang
mengambil darinya, dan syarat ini sulit, serta sedikit orang yang sampai
pada tingkatan ini. Syarat ini kami sebutkan karena, Imam Syafi’i tidak
mengamalkan dhahir hadits yang telah beliau ketahui, akan tetapi ada
dalil lain yang mencacatkan hadits itu, atau yang menasakh hadits itu,
atau yang mentakhish atau yang menta’wilkan hadits itu.
Perlu
kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits
jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh
Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah
hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000
hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam
Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang
dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh Abu Amru
mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang
bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat
mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan
hal itu“
***** awal kutipan *****
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71),
mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada
pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam madzhab
menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
2. Mujtahid Madzhab
3. Ashab Al Wujuh
4. Mujtahid Fatwa
5. Mufti Muqallid
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam
madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq.
Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis
madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As
Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama
ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat,
Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti
mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah
kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab
(pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena
mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al
Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan
Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al
Mustarsyidin, hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan
bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As
Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzadzab, 1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi
juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh
Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti
golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang
melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya,
sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al
Muhadzdzab, 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang
berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat
bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al
Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).
Golongan ini pula yang
menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat
Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan
dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja
meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan manshukh atau
ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan
telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini
amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi
sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al
Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat
imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah
sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah imam. Tak heran
jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As
Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat
bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat,
Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah
syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki
kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan
menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana
para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan
diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai
pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan
masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga,
orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada
mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al
Muhadzdzab, 1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat
ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin
Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh
Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah,
hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para
ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai
madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap
pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al
Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti
yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi
khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan
perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam.
Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada
dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal
sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal.
7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz
fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin
dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin
mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku
tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam
madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk
masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki
kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian
bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam
dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al
Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami,
Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau
sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa
masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin,
hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak
boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya
sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun,
menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al
Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak
boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih
menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai
orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin,
hal. 9)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini
akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang
telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.
Imam An Nawawi
menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah
disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap
menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang
dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum
memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal
yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti
muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli
masih dinilai berada dalam tingkatan itu!
Namun ironisnya
banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban
menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk
mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan
ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat
mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa
madzhabi (jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku), seakan-akan
ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum
menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun
dalam madzhab.
Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang
demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai
kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap
dan kita amalkan.
***** akhir kutipan *****
Pelajaran yang
kita dapat ambil adalah “haditsnya shahih namun permasalahannya apakah
pemahaman (ijtihad) dan istinbat mereka pasti benar ?”